Rajab adalah termasuk salah satu bulan yang dimuliakan Allah dari empat bulan yang lain. "Keempat bulan tersebut adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharaam serta Rajab," Rasulullah mencontohkan, saat memasuki bulan Rajab beliau membaca:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Allâhumma bârik lanâ fî rajaba wasya‘bâna waballighnâ ramadlânâ
“Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan.” (Lihat Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkâr, Penerbit Darul Hadits, Kairo, Mesir)
Selain berdzikir dan berdoa, pada bulan Rajab umat Islam juga dianjurkan untuk puasa sebanyak-banyaknya, sebagaimana juga pada bulan-bulan haram lainnya. Sebutan sebagai bulan haram merujuk sejarah dilarangnya umat Islam mengadakan peperangan pada bulan-bulan itu.
Karena begitu mulia keberadaan bulan Rajab ini, maka sebagian ulama memotivasi untuk memperbanyak ibdah. "Ibadah yang dianjurkan bisa berupa dzikir, shalat, puasa dan amal lainnya," katanya sembari mengutip keterangan di kitab Durratun Nasihin.
Dari berbagai sumber hadits yang ada, hampir semuanya menjelaskan tentang keutamaan dan janji pahala puasa Rajab. Kendati ada sejumlah ulama yang mempermasalahkan hadits tersebut, bukan berarti mengemalkan puasa Rajab dilarang, apalagi dianggap sebagai bid'ah. Untuk itu, orang yang merasa sudah dalam posisi benar harus dapat menerima bahwa dirinya bisa jadi dalam posisi yang salah. Begitupula orang yang dinilai salah bisa jadi dalam posisi yang benar. Perlu kita ingat bersama bahwa Rahmat Kasih sayang Allah SWT sangatlah luas dan mempersilahkan kita untuk berada disemua wilayah rahmatNya. Lantas mengapa perlu dipersempit lagi rahmatNya?
Barangkali perlu kita ingat kembali bahwa, bahwa diantara kaidah agama Islam yang tidak ada perbedaan antara ulama' adalah: bahwa prinsip dasar dalam hukum atas persoalan yang berbeda terdapat hukum yang berbeda pula. Bisa jadi suatu perkara mubah beralih menjadi haram lantaran ditempuh dengan jalan haram, begitupula perkara mubah bisa menjadi mandub bahkan wajib ketika wasilah perkara tersebut adalah perkara mandub atau wajib. Semua perkara -yang belum disinggung secara jelas dalam alQur'an dan asSunnah- dihukumi sesuai dengan jalan atau wasilah yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
Ketika seseorang beramal dalam satu perkara dan tidak terdapat hukum di dalam syari'at mengenai nash qoth'i atas amalan tersebut, maka kita lihat kembali wasilah dan ghoyah (hasil akhir) atas amal tersebut. Ketika hasil akhirnya adalah bertentangan dengan syari'at; yakni terdapat ma'shiyat, mengandung kemungkaran, maka perkara mubah menjadi harom. Adapun ketika kita pandang suatu amalan baru yang belum dikenal baik dizaman shohabat atau tabi'in dan generasi setelahnya, namun setelah kita menyaksikan dan memandangnya menghasilkan perkara yang positif, didalamnya terkandung perkara yang diridloi oleh Allah SWT baik terkait dengan perkara mandub atau wajib, maka perkara mubah tersebut akan berubah menjadi sunnah atau wajib. Pengambilan hukum seperti itu telah disepakati oleh para Ulama' semuanya sebagaimana yang telah dibahas dalam perkara adDzaro'i'. Terlebih puasa di bulan mulia Rajab, selain memiliki dalil yang kuat berupa nash sunnah, juga telah menjadi amalan turun menurun dari ulama' salaf.
Daripada itu, seyogyanya ketika kita melihat apa yang dilakukan oleh masyarakat baik dari amalan atau aktifitas mereka yang berbeda-beda, maka yang kita kedepankan adalah melihat hasil akhir atas aktifitas mereka. Apakah hasil akhir amalan tersebut sesuai dengan warna keta'atan atau warna kema'shiyatan?
Selamat berpuasa di bulan mulia Rajab. Semoga kita semua diberi keberkahan di bulan mulia ini, dan diberi keberkahan umur dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Amien. Wallahu Warosuluh a'lam.
Sumber : www.nu.or.id